Adakah Amalan Nisfu Sya’ban dalam Islam?
Pertanyaan:Bagaimana dengan amalan malam Nisfu Sya’ban yang dilakukan oleh banyak orang? Apakah dibenarkan menurut agama Islam?
Jawaban:
Ada beberapa riwayat yang shahih tentang keutamaan memperbanyak puasa di
bulan Sya’ban, tetapi tanpa mengkhususkan sebagian hari-harinya, di antaranya:
أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ
سَلَّمَ اِسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلاَّ رَمَضَانَ، وَمَا
رَأَيْتُهُ فِيْ شَهْرٍ مِنْهُ فِيْ شَعْبَانَ، فَكَانَ يَصُوْمُ شَعْبَانَ
كُلَّهُ إِلاَّ قَلِيْلاً
Sesungguhnya Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku
tidak pernah sekali pun melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali (pada) bulan Ramadan, dan aku
tidak pernah melihat beliau (banyak berpuasa -ed) dalam suatu bulan kecuali
bulan Sya’ban. Beliau berpuasa pada kebanyakan hari di bulan Sya’ban.” (HR. al-Bukhari: 1868
dan HR. Muslim: 782)
Dalam hadits
yang lain, Usamah bin Zaid berkata,
لَمْ أَرَكَ تَصُوْمُ مِنَ الشُّهُوْرِ مَا تَصُوْمُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: ذَاكَ شَهْرٌ يَغْفِلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ
رَجَبٍ وَ رَمَضَانَ، وَ هُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ اْلأَعْمَالُ فِيْهِ إِلَى رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِيْ وَ أَنَا صَائِمٌ
“Wahai Rasulullah, aku
tidak pernah melihatmu berpuasa dalam beberapa bulan seperti puasamu di bulan
Sya’ban. Beliau menjawab, ‘Itu adalah satu bulan yang manusia lalai darinya.
(Bulan itu adalah) bulan antara Rajab dan Ramadan, dan pada bulan itu
amalan-amalan manusia diangkat kepada Rabbul ‘alamin, maka aku ingin supaya
amalanku diangkat pada saat aku berpuasa.’ ” (HR. an-Nasa’i: 1/322, dinilai
shahih oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil: 4/103)
Adapun pengkhususan hari-hari tertentu pada bulan Sya’ban untuk berpuasa
atau qiyamul lail, seperti pada malam Nisfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya
lemah bahkan palsu. Di antaranya adalah hadits:
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ
مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللهَ
يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ أَلاَ
مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ
مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
“Jika datang malam
pertengahan bulan Sya’ban, maka lakukanlah qiyamul lail, dan berpuasalah di
siang harinya, karena Allah turun ke langit dunia saat itu pada waktu matahari
tenggelam, lalu Allah berkata, ‘Adakah orang yang minta ampun kepada-Ku, maka
Aku akan ampuni dia. Adakah orang yang meminta rezeki kepada-Ku, maka Aku akan
memberi rezeki kepadanya. Adakah orang yang diuji, maka Aku akan selamatkan
dia. Adakah demikian dan demikian?’ (Allah mengatakan hal ini) sampai terbit
fajar.” (HR. Ibnu Majah: 1/421; HR. al-Baihaqi dalam Su’abul Iman: 3/378)
Keterangan:
Hadits ini dari jalan Ibnu Abi Sabrah, dari Ibrahim bin Muhammad, dari
Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far, dari ayahnya, dari Ali bin Abi Thalib, dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits ini adalah hadits maudhu’/palsu, karena perawi bernama Ibnu Abi
Sabrah tertuduh berdusta, sebagaimana dalam Taqrib milik al-Hafidz. Imam Ahmad
dan gurunya (Ibnu Ma’in) berkata tentangnya, “Dia adalah perawi yang memalsukan
hadits.”[1]
Maka dari sini kita ketahui bahwa hadits tentang fadhilah (keutamaan –ed)
menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dan berpuasa di siang harinya tidaklah sah dan
tidak bisa dijadikan hujjah (argumentasi). Para ulama menyatakan hal itu
sebagai amalan bid’ah dalam agama.[2]
============Catatan kaki:
[1] Lihat Silsilah Dha’ifah, no. 2132.
[2] Lihat Fatawa Lajnah Da’imah: 4/277, fatwa no. 884.
Dijawab oleh Ustadz Abu Ibrohim Muhammad Ali pada Majalah Al-Furqon, Edisi
Khusus, tahun ke-9, 1430 H/2009 M.
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa dan aksara oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)
(Dengan beberapa pengubahan tata bahasa dan aksara oleh redaksi www.konsultasisyariah.com)
0 komentar:
Posting Komentar